Ketika Masaku Tak Lagi Kanak-Kanak

Ketika Anak-Anak Menjelma Dewasa dan Ibu Semakin Menua

It Is Okay Not To Be Okay

It Is Okay Not To Be Okay Eventhough You Are A Mother

Pergi Untuk Kembali

Pergilah, Untuk Kembali Tumbuh Menjadi Dirimu

Dandelion

Kebertahanan Hidup, Kenyamanan dan Kedamaian

#1. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Mencintai, Hadir Menerima dan Keterhubungan dengan Diri Sendiri

#2. Tentang Selalu Ada dan Berdiri untuk Diriku Sendiri

Sebuah Muara Kesadaran Kemana Seharusnya Keterhubungan Diri Terhubung

Senin, 14 Januari 2019

#1. Titipan


Kehilangan rekan kerja mengawali ujian awal tahun. Bentrokan lintas kepentingan pemicunya. Setiap orang menyuarakan alasan. Berbagai sudut pandang bertabrakan.

Mulanya, di depan dua orang guru, satu suara milik rekan kerja yang dituakan menegur, "Bu, sebelumnya saya minta maaf, bisa gak untuk berangkat lebih pagi lagi? Kasihan Bu Vinny jadi keteteran. Kita sudah semester 2. Untuk menggembleng anak-anak yang mau SD gak main-main lagi." 

Mimik muka dua rekan guru yang lain berubah warna. Aku terkepung bingung. Seharusnya, akulah yang berbicara sebagai rekannya di kelas soal kedatangan jam pagi guru yang lebih pagi dari batas waktu yang ditentukan oleh lembaga pendidikan tempat kami bekerja. Namun, selama ini, aku masih memanjangkan toleransi. Aku juga masih mencari celah untuk mengetahui sedikit kehidupannya dan membangun kedekatan dari karaternya yang agak tertutup.

Lagipula, pengondisian jam tambahan baca pagi masih terkendali olehku meski terkadang keluhan kecil yang manusiawi keluar dari bibirku saat-saat merasa kelabakan. Lainnya, aku memikirkan banyak dampak yang cukup fatal bagiku ketika aku menegurnya dengan cara yang salah. Jelasnya, akulah yang akan pontang-panting menangangi 36 anak seorang diri sehari-hari. 

Intuisiku berkata, teguran keras akan membuatnya hengkang dari lembaga. Aku tidak mau itu terjadi disaat-saat padatnya kegiatan lembaga kami di semester ini. Belum lagi dengan perkuliahan dimana aku memikul tangung jawab yang tak kalah menyita pikiran, tenaga dan emosi. 

Apa yang dikatakan intuisiku seperti lesatan anak panah yang menancap tepat di pusat lingkaran papan bidik. Kelebatan-kelebatan bayangan yang bermunculan dari situasi-kondisi yang terbaca saat peneguran akhirnya menyata. Rekanku resign.

Lalu, apakah aku menyalahkan rekan yang menegur?

Lagi-lagi, aku merasakan lelahnya berdiri di tengah-tengah, sendirian, memahami semua pihak, menerima keadaan sekaligus menangani masalah yang ada dengan sebijaksana mungkin. Karena bekerja dengan para perempuan, sedikit-banyak, terkadang mempertimbangkan perasaan.

Aku paham maksud baik rekan kerja yang paling sepuh menegurnya. Rasa kasihan melihatku yang hanya sendirian menghendel anak-anak yang mengikuti "jam tambahan baca pagi", mendorongnya melakukan itu. Disisi lain, aku bisa membaca, ini akan berdampak pada rekan kerja yang lainnya yang merekomendasi teman kuliahnya kepada pihak atasan dan akhirnya diterima bergabung menjadi rekan kerjaku di kelas. Kemudian juga, aku memikirkan bagaimana perasaan rekan kerjaku yang ditegur di depan rekan-rekannya. Pula tak ayal lagi akan ada pertanyaan yang akan diajukan para orang tua murid soal resignnya rekan kerjaku yang baru bergabung bersamaku dalam hitungan tiga bulan.

Segala daya dilakukan. Usaha dikerahkan. Aku beserta rekan guru lainnya datang ke rumahnya untuk membujuknya mempertimbangkan ulang keputusannya. Pimpinan garis komando teratas pun turun tangan. Bahkan sudi untuk memohon sepertiku agar ia tetap tinggal paling tidak sampai dengan akhir semester ini. Namun, nihil. Tak berhasil. Keputusannya telah membatu. Resign tetap dikukuhkannya. Pergi pun enggan berpamitan langsung dengan orang tua murid. Aku benar-benar sangat kecewa.

Setelah mengetahui resignnya rekan kerjaku di kelas, rekan-rekan lainnya mengatakan akan membantuku selama belum menemukan guru pengganti. Aku tak bisa mengandalkan kata-kata mereka. Bukan karena aku tak mempercayai mereka. Mereka sudah membuktikan kata-katanya dahulu, ketika patner pertamaku resign. Hanya saja, aku tak ingin terlena.

Aku memahami, setiap rekan guru memiliki porsi tanggung jawabnya masing-masing. Pula, jujur saja, aku tak ingin membebani siapapun. Aku tak ingin menanam hutang budi. Dan aku telah menelan pemahaman, bahwa sudah menjadi watak manusia, ia akan mengutamakan apa yang menjadi prioritasnya terlebih dahulu baru memikirkan orang lain.

Rumit. Kompleks. Sebabnya, terlalu banyak perasaan orang lain dan dampak yang ditimbulkan dari setiap gerak-gerik mereka yang terbaca olehku. Terkadang, aku sampai di pucuk lelah ketika terlalu banyak melindungi perasaan orang-orang dan mencari solusi terbaik lagi efektif untuk semua pihak. Ini membuat kondisi emosiku sendiri pasang surut. Aku cenderung menjadi lebih sensitif dan mudah terpantik bara amarah. Pada akhirnya, aku kewalahan dan "banting pintu" putar badan meninggalkan perasaan-perasaan milik orang-orang yang terlampau kupikirkan.

Aku menjauhkan diri dari orang-orang. Teman kampus yang meminta bantuanku untuk mengisi akun data online HIMPAUDI milik pribadinya pun kutolak mentah-metah. Permintaan tolong yang diucapkannya bagiku terdengar lebih mirip perintah dan paksaan ini akhirnya seperti membangunkan amarah yang bersemayam dibalik ketenanganku. Sebuah lingkaran kubuat sebagai batas. Ketika batas itu dilanggar, tak peduli tua-muda, akan terkena imbas amarahku. Aku menjadi orang yang sangat egois bagi orang lain. Tak apa. Biarkan. 

Hidup mengajariku. Bahwa orang yang memahami bagaimana diriku, tak akan pergi hanya karena amarah tak terduga yang memiliki musabab jelas dan jarang kutunjukkan. Sementara, orang yang hanya berpikir soal pemenuhan kepentingan pribadinya dengan menggunakan aku sebagai alatnya, ia akan terpental dengan sendirinya ketika batas "singgasanaku" dilanggar dan amarah kutumpahkan padanya.

Aku memang begini.

Adakalanya, aku lebih membutuhkan "singgasana" kesunyian daripada orang-orang. Aku membutuhkan kesunyian untuk melihat cahaya hikmah yang hendak Allah sampaikan melalui peristiwa-peristiwa dalam hidupku yang menguras emosi. Aku membutuhkan kesunyian untuk melihat makna di balik pertanda dengan isi kepala dan hati yang paling jernih. Aku membutuhkan kesunyian untuk menguatkan diri dan kembali melangkah sepasti matahari.

Seperti malam ini, ketika aku melarut dalam sunyi untuk memaknai yang dinamai titipan. 
Semuanya yang melekat padaku adalah titipan Sang Maha Kuasa. Maka keinginan, cita-cita, idealisme pemikiran dan bahkan perasaanku juga adalah milik-Nya. Lalu, muaranya satu: hanya kepada Allah-lah segala urusan dikembalikan. Meletakkan kepasrahan di setiap rentetan usaha akan lebih melegakan. Menerima bahwa keinginan, cita-cita, pemikiran dan perasaan tak selalu mewujud sesuai harapan, akan lebih melapangkan hati. Menghidupkan rasa syukur di setiap hasil usaha meski meleset dari harapan, akan tetap menumbuhkan harapan baru dan semangat pantang menyerah dalam diri untuk tetap melangkah melanjutkan hidup.
Lalu, aku menyadari banyak hal. Mungkin makna ini yang sanggup membuatku tetap bertahan dengan segala kecamuk perasaan dan pemikiran di akhir tahun lalu ketika kemampuanku dikerdilkan oleh rekan kerja yang juga menegur rekan kerjaku. Makna titipan yang akhirnya bisa membeningkan kembali hati yang keruh pada saat itu. Makna titipan yang kupahami, setidaknya, menolongku untuk terus belajar menumbuh-suburkan rasa ikhlas melepas dan menerima apa yang harus dilepaskan dan diterima. Makna titipan yang kupahami, setidaknya mengajariku, bahwa ada perjuangan yang tak selamanya harus dimenangkan.

Ya Allah... jagalah ingatan tentang makna titipan ini dalam akal pikiran, hati dan jiwaku.

-V.E.P, Monolog Sunyi, Ruang Pemulihan Diri, 14.01.2019